Makalah Tentang Istiqra’
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Oleh:Hurin’In
Himmatul Husnayain
BAB I
PENDAHULUAN
Segala puji
bagi Allah Robb semesta alam, Robb pencipta segalanya, Robb Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Dialah yang menghendaki hamba-Nya
berada dalam jalan kebenaran dan kesesatan. Tidak ada seorang pun yang dapat
menyalahi kehendak-Nya.
Bersyukurlah
kepada Allah yang telah memberikan kita nikmat sehat dan iman sehingga kita
bisa terus beramal hingga saat ini, kita juga masih di beri kesempatan untuk
menuntut ilmu agama.
Sholawat serta salam
kita curahkan kepada Nabi Muhammad Shalallohu’Alaihi wa Salam, sang
pembawa risalah telakhir dan kita curahkan kepada para sahabatnya, keluarganya
dan orang-orang yang senantiasa mengikuti sunnahnya.
Penulis
hadirkan makalah ini untuk memenuhi tugas akademik, selain itu penulis berharap
dengan makalah ini penulis bisa menyampaikan ilmu yang didapat. Semoga
bermanfaat bagi para pembaca dan dapat memahamkan pembaca.
Penulis juga
menginginkan adanya kritik dan saran dari pembaca, karna penulis sangat
menyadari banyaknya kekurangan dalam makalah ini. Seseorang tidak akan
berkembang tanpa adanya kritikan dan saran dari orang lain.
A.
Latar Belakang
Permasalahan
Permasalahan
fiqih adalah permasalah yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Dari awal
munculnya islam hingga sekarang dan sampai kapan pun fiqih akan terus
berkembang dengan berkembangnya zaman ini. Sehingga dari permasalahan tersebut
timbul sebuah perbedaan pendapat dari kalangan fuqoha’. Hal ini membuat
tatangan bagi fuqoha’ dalam memperdalam ushul fiqih. Begitu juga dengan
para mujtahid, mereka harus berijtihad dengan mengambil sumber dari al-qur’an dan
as-sunnah, memahami dan mengerti bahasa arab dengan baik, menguasai perkataan fuqoha’
agar bisa dipahami dengan baik, mengetahui rearita keadaan masyarakat.[1]
Selain itu seorang mujtahid haruslah orang cerdas agar di dalam memahami
perkataan fuqoha’ atau permasalahan yang terjadi tidak terjadi kesalahan
yang dapat merusak hukum asal.
Metode yang
digunakan oleh para mujtahid berbeda-beda, salah satu seorang mujtahid
menggunakan metode istiqra’ sebagai metode yang ia ambil. Metode ini
juga diambil oleh ulama terkenal yakni, Imam Syathibi, beliau mendefinisikan istiqra’
sebuah penelitian terhadap makna khusus untuk menetapkan kesimpulan yang
bersifat umum dan qoth’i.
Penulis
hadirkan makalah ini untuk menjelaskan sedikit maksud tentang istiqra’ dan
pembagian lain yang berkaitan dengan istiqra’.
B.
Rumusan
Masalah
Penulis
paparkan beberapa perumusan masalah untuk memahamkan pembaca dalam memahami
makalah ini.
1.
Apa yang dimaksud dengan istiqra’?
2.
Apa pendapat ulama tentang istiqra’?
3.
Bagaimana metode penggunaan istiqra’
dan bagaimana penerapan istiqra’?
C.
Tujuan
Pembahasan
Dengan adanya
perumusan masalah, penulis juga hadirkan beberapa tujuan dari pembahasan.
1.
Untuk mengetahui pengertian istiqra’.
2.
Untuk mengetahui pendapat atau
pandangan ulama tentang istiqra’.
3.
Untuk mengetahui metode penggunaan istiqra’
dan penerapannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Maksud dari Istiqra’
Pengertian Istiqra’
Secara etimologi
istiqra’ berasal dari kata (اِسْتَقَرَءَ)
yang berasal dari kata قَرَأَ)) yang memiliki
arti membaca, menelaah, mengumpulkan.[2] Tambahan
alif, sin dan ta pada lafadz ((اِسْتَقَرَءَ memiliki faedah meminta, jadi maksudnya meminta sesuatu
untuk dibaca atau ditelaah. Selain itu juga memiliki makna penelitian atau
disebut dengan deduktif,[3]
di sisi lain ((اِسْتَقَرَ memiliki arti sesuatu yang mengikuti suatu individu
untuk mengetahui keadaannya dan kekhususannya (keistimewaan).[4]
Di dalam
istilah ilmu hukum islam, istiqra’ adalah sebuah metode pengambilan
kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta-fakta khusus yang digunakan oleh
ahli fiqih untuk menetapakan suatu hukum, metode ini tertuang dalam ushul
fiqih dan qowaid al fiqiyah.[5]
Maka istiqra’
adalah suatu kesimpulan yang diambil dari hasil penelitian, baik bersifat umum
maupun khusus.
Misalnya,
anggota badan kita saling berkaitan. Apabila salah satu anggota badan kita
sakit, maka kita perlu memeriksa anggota badan kita, misalnya ada seseorang
mengeluhkan sakit perut di bagian atas hingga menjalar ke pinggang, maka
setelah dia berobat dokter mengvonis bahwa ia terkena penyakit batu ginjal.
Jadi, orang tersebut dihukumi terkena penyakit batu ginjal setelah adanya
penelitian dari dokter.
Pembagian Istiqra’
Dalam
pembahasan ini, Istiqra’ dibagi menjadi dua:
1.
Istiqra’ Tam
Yakni menetapkan
hukum secara sebagian (juz’i) untuk menghasilkan suatu hukum
keseluruhan (kulli).[6] Istiqra’
tam merupakan qiyas dengan menggunakan akal (bi aqli), dan
dapat dijadikan hujjah tanpa adanya perselisihan.[7]
Misalnya,
penelitian seseorang terhadap anggota tubuhnya apakah ia sehat atau sedang
sakit. Penelitian ini harus dilakukan secara mendetail atau keseluruhan tanpa
adanya bagian yang tertinggal, karna metode istiqra’ tam menghasilkan
hukum secara keseluruhan (kulli). Dan menghasilkan suatu hukum yang
pasti (qoth’i) tanpa adanya keraguan (zhonni).[8]
Contoh lainnya
adalah: Setiap sholat baik wajib maupun sunnah wajib bagi keduanya dalam
keadaan suci (thoharoh). Maka dapat disimpulkan setiap melaksanakan
sholat seseorang harus dalam keadaan suci (thoharoh).
2.
Istiqra’
Naqhis
Yakni menetapkan
hukum secara keseluruhan (kulli) untuk menghasilkan suatu hukum secara
sebagian (juz’iyah).
Ulama fiqih
berpendapat bahwa dalam metode ini tidak ada penjelasan yang efektif (menetapkan‘am
yang terjadi pada keumumannya).
Metode istiqra’
naqish berselisih dalam adanya prasangka atau keraguan (zdonni) dan menghadirkan
suatu bagian tertentu (juz’iyah). Adapun zhonni dan juz’iyah
menurut metode istiqra’ itu lebih kuat zhonni.
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1.
Setuju atau membenarkan perkataan
di atas
2.
Pendapat Al Hashil, Al Baidhawi dan
Al Hindi, dan sebagian yang lain.
Sebagaimana yang mereka katakan: “
Melakukan sholat witir ketika berada diatas kendaraan atau menaiki binatang
tunggangannya itu menunjukkan bukan sholat yang wajib.Sedangkan menunaikan
sholat lima waktu belum pernah kita dapati Rosululloh melakukan hal ini (keadaan
menaiki kuda atau hewan tunggangan).”
Dari bukti wajibnya beramal dengan zhonni
adalah sebagaimana di dalam hadist shohih Ummu Salamah:
إنما أنابشر, وإنكم تختصمون إلي
ولعل بعضكم ألحن بحجته من بعض, فأحسن أنه صدق فأقضي له بذلك فمن قضيت له بحق مسلم,
فإنما هي قطعة من النار, فاياخذها أو ليتركها.
Ketahuilah bahwa isthidlal dengan juz’i’ala kulli disebut dengan istiqra’,
sedangkan apabila dengan kulli ‘ala juz’i maka disebut dengan qiyas,
atau dengan juz i ‘ala juz i maka disebut tamstil, apabila dengan
kulli ‘ala kulli maka disebut qiyas atau tamstil.[9]
Sebaimana contohnya, buaya makan
dengan menggunakan gigi geraham atas ketika mengunyah makanan, maka contoh ini
menyelisihi semua binatang yang makan dengan gigi geraham bawah.
B.
Pandangan
Ulama Mengenai Istiqra’
Istiqra’ merupakan
dalil yang diperselisihkan. Pendapat atau dalil dalam istiqra’ tam dapat
dijadikan hujjah, sedangkan dalam istiqra’ naqish ada beberapa pendapat.
Mereka berselisih apakah menghadirkan zhonni atau bersifat juz’iyah
saja.
Mengenai hal ini, ulama berbeda pendapat:
1.
Pendapat mayoritas ulama ushul,
imam Baidhawi, mayoritas ulama syafi’i, Al Hindi, Imam Syathibi serta beberapa
ulama Hanabilah. Mereka mengatakan bahwa istiqra’ naqish adalah dalil zhonni
dalam menentukan hukum kulli tanpa harus ada menyelisihi dalil-dalil
yang lain dan dalam menentukan hukum dari objek permasalahan.
Pendapat yang mengatakan istiqra’ naqish
adalah dalil zhonni adalah jika kita menghasilkan dalil yang sama di
dalam mayoritas dari bagian suatu permasalahan maka kemungkinan bagian yang
tersisa dan belum dipelajari hukumnya juga sama, karena menghubungkan sesuatu
yang sendiri atau sedikit dengan sesuatu yang terjadi pada umumnya. Selain itu
dikhawatirkan adanya perselisihan baik sudah diteliti maupun tidak diteliti. Istiqra’ naqish tidak dianggap sebagi dalil qath’i karna hukum kulli tidak didukung oleh semua bagian. Sehingga diperbolehkan jika objek permasalahan tidak menerapkan hukum kulli, maksudnya hukum dari objek permasalahan bertentangan dengan hukum kulli hasil istiqra’.
2.
Imam Fakhru Ar Razi mengatakan
bahwa istiqra’ naqish bukanlah dalil yang qoth’i maupun dzonni
sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum fiqih secara mandiri.
Sebab hukum yang dihasilkan dari penelitian beberapa bagian saja dari hukum kulli
akan menghasilkan pendapat yang belum matang dan tidak bisa diterapkan kedalam
bagian yang belum diteliti, sehingga kesimpulan ini menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum dari bagian
yang belum diteliti sehingga memberi peluang akan terjadi pertentangan dalam
menyangkut hukum yang dimaksud.
Pernyataan ini
dijawab dengan perkataan bahwasanya bagian-bagian yang tidak melalui proses istiqra’
itu sedikit dan jarang terjadi. Secara zhonni hukum yang belum
diteliti sama dengan hukum yang telah diteliti.[10]
C.
Metode Istiqra’
Kita telah
mengetahui betapa pentingnya metode istiqra’ untuk mengetahui maqasid
syar’iyah. Akan tetapi imam Syathibi tidak menuliskan metode ini dalam
kitabnya, padahal ia merupakan ulama yang bersandar atau berdalil pada istiqra’.
Imam Syathibi berkata: “Istiqra’ dijadikan sebagai sandaran bagi kita
dai sebagian syari’at yang diletakan sebagai maslahat seorang hamba.”
Sudah jelas bahwa Imam Syathibi
menjadikan istiqra’ am sebagai sandaran atau dalil di dalam menetapkan maqashid
secara kekhususannya.
Perbedaan maqashid dengan menggunakan
metode istiqra’ dan metode yang lain:
1.
Maqashid dengan istiqra’
merupakan maqashid kubro dan umum bagi asy syari’ah al islamiyah.
Sedangkan metode yang lain pada keumumanya menggunakan maqoshid yang
bersifat juz’iyah dan berkaitan dengan hukum.
2.
Salah satu keistimewaan maqashid
istiqra’ ia qoth’i (pasti). Sebagimana disebutkan Imam Syathibi
didalam muqodimah kitab al Muwafiqot, bahwa ushul fiqih haruslah
bersifat qoth’i tidak boleh adanya zhonni (keraguan atau
prasangka). Dalilnya adalah (الاستقراء المفيد
للقطعى), karna pada umumnya syari’at tidak bersandar pada satu dalil
saja, akan tetapi bersandar kepada beberapa macam dalil.
Sedangkan yang
menetapkankan dengan metode lain, biasanya berhenti pada zhonni dan kecenderungan saja. Dan merupakan
perkara maqashid yang diambil dari dhohirnya amr dan nahi saja.
Metode Istiqra’
dikuatkan dengan dua macam:
1.
Istiqra’ merupakan
hukum-hukum dan illah (sebab dari
sesuatu) yang diketahui.
BAB III
PENUTUP
Alhamdulillah, akhirnya
selesai juga makalah yang penulis buat. Berbagai rintangan telah diterjang
dengan berbagai cara. Memang bukan hal yang mudah bagi penulis untuk memahami
dan menuliskan penjelasan yang tertera pada makalah ini, oleh karna itu penulis
sangat membutuhkan kritikan dan saran yang membangun dari pembaca, sebagaimana
yang telah disebutkan oleh penulis sebelumnya. Penulis juga menginginkan adanya
kritikan terutama didalam pembahasan atau materi ini, karna penulis sadari
kurangnya kemampuan penulis.
Kesimpulan
Sebagaimana
pemahaman penulis, istiqra’ merupakan suatu bagian dari maqashid
syar’iyah yang metode penerapannya menggunakan adanya penelitian atau
pemahaman yang mendetail tanpa terkecuali di dalam suatu permasalahan.
Istiqra’ terbagi
menjadi dua yang bersifat tam dan naqish. Istiqra’ tam di
dalam meneliti bersifat keseluruhan, sedangkan istiqra’ naqish adalah
penelitian yang bersifat merinci dan tidak sempurna.
Ulama berbeda
pendapat di dalam menggunakan metode ini, ada yang menyatakan dapat dijadikan
hujjah dan ada pula yang menyatakan tidak dapat dijadikan sandaran (dalil).
Salah satu metode yang digunakan
dalam metode istiqra’ adalah ia merupakan dalil yang qoth’i,
berbeda halnya dengan metode yang lain, kebanyakan dari mereka menggunakan
dalil secara zhonni dan kecenderungan saja.Wallahu A’lam bi
Showab....
DAFTAR PUSTAKA
1)
Ahmad bin Muhammad bin Ali, Al
Misbahul Al Munir, pent. Darul Ma’arif.
2)
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al
Munawwir Arab-Indonesia, pent. Pustaka Progressif.
3)
Badruddin bin Muhammad, Al bahru
Al Mukhith , pent. Darul Kutubi, juz 8.
4)
Dr. Muhammad Abu Al ‘Athi Muhammad,
Al Maqoshid Asy Syar’iyah Wa Astaruha Fii Al fiqh Al Islami, pent. Darul
Hadist, juz 01.
5)
Taqiyuddin Abu Al Baqo’ Al Fatwahi,
Syarah Al Kawkabu Al Munir, pent. Sunnah Al Mahmudah, juz 1.
6) https://ahmadmusliminblog.wordpress.com/2016/08/16/metode-istiqra/#_ftnref6
7)
https://didifaizin.wordpress.com/2014/02/26/syarat-menjadi-mufti/
8)
https://melatinanilalang.wordpress.com/2010/03/16/pemberdayaan-istiqra%E2%80%99-dalam-inferensi-hukum-fikih/#_ftnref17
[1]
https://didifaizin.wordpress.com/2014/02/26/syarat-menjadi-mufti/
[2] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir
Arab-Indonesia, pent. Pustaka Progressif, hal 1101
[3] Ahmad Warson Munawwir................,hal
1102
[4] Ahmad bin Muhammad bin Ali, Al Misbahul Al
Munir, pent. Darul Ma’arif, hal 502
[5]
https://ahmadmusliminblog.wordpress.com/2016/08/16/metode-istiqra/#_ftnref6
[6] Taqiyuddin abu al baqo’ al fatwahi, Syarah
Al Kawkabu Al Munir, pent. Sunnah Al Mahmudah, juz 1, hal 4-5
[7] Badruddin bin Muhammad, Al Bahru Al
Mukhith , pent. Darul Kutubi, juz 8, hal 7
[8]
Taqiyuddin.................
[9] Taqiyuddin.............
[10]
https://melatinanilalang.wordpress.com/2010/03/16/pemberdayaan-istiqra%E2%80%99-dalam-inferensi-hukum-fikih/#_ftnref17
[11]
Dr. Muhammad Abu Al ‘Athi Muhammad, Al
Maqoshid Asy Syar’iyah Wa Astaruha Fii Al fiqh Al Islami, pent. Darul
Hadist, juz 01, hal 56-58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar