Diwajibkannya
mengqodho’ puasa bagi wanita haid, namun ia tidak dibebani untuk mengqodho’
sholat selama ia tingggalkan. Hal ini sebagai bentuk kesempurnaan syari’at dan
penjagaan dalam syari’at untuk suatu suatu maslahat bagi seorang mukalif.
Adapun wanita
haid didalam syari’at islam tidak dibebani untuk melaksanakan ibadah. Dalam
persoalan ibadah sholat, wanita haid memiliki cukup waktu dengan adanya hari ia
suci dan hari ia ketika haid. Terdapat pula maslahat baginya di hari ia suci
untuk tidak mengqodho’ sholat yang ia tinggalkan, karna terulangnya hari-hari
yang dilalui. Berbeda halnya dengan puasa, ia tidak terulang-ulang, ia hanya
diwajibkan pada satu bulan dalam satu tahun, yakni pada bulan yng mulia, bulan
romadhan. Walaupun pada saat haid gugur tanggungannya, namun tidak hilang
tanggungannya pada saat ia suci. Hal ini menunjukkan suatu maslahat baginya. Ia
diwajibkan mengqodho’ puasa selama hari yang ia tinggalkan di masa sucinya. Hal
ini dilakukan seorang hamba kepada Robbnya agar seorang hamba dapat merasakan
kebaikan dari berpuasa dan menyempurnakan syari’at Allah.[1] Waallahu’alam.(*himma)
[1]
Imam Syamsudin Abi Abdillah Muhammad
bin Abi Bakar, I’lamul Muwaqi’in, pent. Darul Fikri, jilid 1, hal 284.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar