Segala puja
dan syukur hanya milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Robb semesta
alam yang telah memberikan banyak nikmat kepada hamba-Nya, diantaranya nikmat
akal sehat, nikmat kesehatan dan berbagai kenikmatan lain yang tidak terhitung
lagi jumlahnya.
Shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada tauladan kita Nabi Muhammad Shalallahu’Alaihi
wa Salam yang telah menuntun dan mengajarkan kepada umatnya suatu risalah yang
suci.
Mengingat
bahwa kematian dapat menimpa manusia, kapan pun dan dimana pun. Tidak ada
manusia yang mengetahui kapan dia meninggal. Ini semua adalah kehendak Allah
dan Allah Yang Maha Mengetahui perkara yang ghaib.
Ditinggal
meninggal kerabat terdekat kita, terkang membuat kita sedih, menangis, merasa
kehilangan dan sejenisnya. Berbagi hal terkadang kita lakukan dan ucapkan, baik
dengan kesadaran diri sendiri ataupun tanpa sadar.
Melihat
kejadian ini yang terkadang sebagian orang melakukannya secara berlebihan
hingga menangis dan meratapi mayat, menampar pipi, menyobek pakaian,
berteriak-teriak, berkata-kata dengan maksud tidak menerima kejadian yang
dialaminya dan lain sebagainya. Penulis tertarik dengan bagaimanakah hukum
menagisi mayat.
A.
Pengertian
Menangis dalam
bahasa arab adalah بَكَى- يَبْكِى- بُكَى- بُكَاءً adalah keinginan mengeluarkan air mata yang diiringi
keluarnya suara.[1]
Sedangkan
pengertian menangis dalam KBBI adalah melahirkan perasaan sedih (kecewa,
menyesal dan sebaginya) dengan mencucurkan air mata serta mengeluarkan suara
(tersedu-sedu, menjerit-jerit).
Dalam KBBI
mayat berarti badan atau tubuh yang sudah mati.
B.
Hukum
Menangisi Mayat Menurut 4 Madzhab
Ulama sepakat
bolehnya menangisi mayat sebelum dan sesudah pemakaman, asalkan tanpa
berteriak-terik, menyobek baju, meratap dan menampar pipi.
Sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Rasululah bersabda:
يَا إِبْرَاهِيْمُ, إِنَّا لاَ
نُغْنِى مِنَ اللهِ شَيْئًا
“Ibrahim...!
Terasa cepat Allah mengambilmu,” lalu air mata beliau mengalir. Lantas Abdullah
bin ‘Auf bertanya, “Rasulullah, apakah Anda menangis? bukankah Anda telah
melarang untuk menangis?”
Rasulullah menjawab,
لاَ, وَلَكِنْ نَهَيْتُ عَنِ
النُّوْحِ
“Tidak,
yang aku larang itu adalah ratapan yang berlebihan.”
Terdapat pula
hadist yang diriwayatkan oleh Abdulloh bin Umar, yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بن عُمَرَ رضي
الله عنهما قال: اشْتَكَى سَعْدُ بن عُبَادَةَ شَكْوَى لَهُ فَأَتَى رَسُوْلُ
اللهِ صلّى الله عليه وسلم يَعُودُهُ مَعَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بن عَوْفٍ وَسَعْدِ
بن أَبِى وَقَّاصٍ وَعَبْدِ الله بن مَسْعُوْدٍ, فَلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهِ
وَجَدَهُ فِى غَشِيَّةٍ فَقَالَ: أَقَدْ قَضَى؟, قَلُوا: لاَ, يَا رَسُوْلَ اللهِ,
فَبَكَى رَسُوءلُ اللهِ صلّى الله عليه وسلم, فَلَّمَا رَأَى القَوْمُ بُكَاءَ
رَسُوْلِ اللهِ اللهِ صلّى الله عليه وسلم, بَكُوا, فَقَالَ: أَلاَ تَسْمَعُوْنَ؟
إِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ العَيْنِ, وَلاَ بِحُزْنِ القَلْبِ, وَلَكِنْ
يُعَذِّبُ بِهَذَا- وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ – أَوْ يَرْحَمُ. (أَخْرَجَهُ
البُخِارِى, وَمُسْلِمٌ, وَالنَّوَوِي)
Diriwatkan
dari Abdullah bin Umar Radhillahu’Anhuma, dia berkata, “Sa’ad bin Ubadah
pernah menderita suatu penyakit. Nabi Shalallahu’Alaihi wa Salam datang
menjenguknya bersama Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waaqqash serta Abdullah
bin Mas’ud Radhillahu’Anhum. Ketika beliau masuk Sa’ad sudah dikerumuni
keluarganya, beliau lalu bertanya, “Apakah ia sudah tiada?” Mereka menjawab,
“Belum, wahai Rasulullah.” Maka beliau menangis dan ketika orang-orang melihat
Nabi menangis, mereka pun menangis. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak
menyiksa karena kesedihan hati, tetapi Allah hanya akan menyiksa karena ini,
(beliau menunjuk ke arah lidahnya) atau Allah akan mengampuninya.” (Bukhori
1304, Muslim 924, An Nawawi 6/523-524)[2]
Diharamkan
menyebut kebaikan-kebaikan mayat secara berlebih-lebihan, meratap, meronta dengan memukul dada atau
kepala, merobek pakaian dan semisalnya.[3]
Akan tetapi
madzhab Hanafiyah berbeda pendapat terhadap hukum meratapi mayat, tidak mengapa
meratapi mayat dengan syair atau yang lainnya. Akan tetapi, hukumnya makruh
apabila berlebihan dalam memujinya, apalagi berada di samping mayat.[4]
Akan penulis
paparkan pendapat madzhab Syafi’iyah mengenai hukum menangisi mayat.
Dalam Madzhab
Syafi’iyah, membolehkan bagi seseorang yang ditinggal mati mayit untuk
menangisi mayat.
Berkaitan tentang menangisi sebelum
kematiannya, Anas Radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa, “Kami menemui
Rasulullah dan Ibrahim anak laki-laki Rasulullah dalam keadaan sekarat maka
kedua mata Rasulullah meneteskan air mata, yaitu mengalir air matanya.” (HR.
Bukhori dan Muslim).
Adapun menangisi setelah
kematiannya, Anas Radhiyallahu’anhu meriwayatkan, “Kami menyaksikan
penguburan anak perempuan Rasulullah. Kami melihat kedua mata beliau
mengalirkan air mata dan beliau duduk di atas kuburan.” (HR. Bukhori dan
Muslim).
Dalam riwayat Muslim dari Abu
Hurairah disebutkan bahwa Nabi mengunjungi kuburan ibu beliau, lalu beliau
menangis dan membuat orang-orang beliau ikut menangis.(HR. Abu Daud, Nasa’i,
Ahmad dan Malik)
Perbuatan yang lebih utama dalam
hal ini adalah tidak menangisi setelah kepergian mayit. Bahkan sebagian ulama
berpendapat makruh, sebab Nabi bersabda:
إِذَا
وَجَبَتْ فَلاَ تَبْكِيَنَّ بَاكِيَةً
“Apabila kematiannya telah terjadi, janganlah ada wanita yang
menangis.”
Dalam madzhab Syafi’iyah, mengharamkan bagi seseorang untuk
meratapi jenazah dan ada hukuman bagi orang yang meratapi mayat. Maksudnya
meratapi adalah mengeraskan ratapan
suaranya, merobek saku atau pakaiannya, memukul dada atau pipi, mengacak-
ngacak rambut, berdo’a dengan kecelakaan dan semisalnya.
Rasulullah bersabda:
“Seseorang yang meratapi jenazah apabila tidak bertaubat sebelum
kematiannya, maka ia dibangkitkan pada Hari Kiamat dengan baju dari ter dan
gamis dari kudis.” (HR. Muslim).
Disebutkan dalam hadist shahih, “Sunggguh jenazah akan disiksa
dengan tangisan keluarga atas kematinnya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam hadist ini dapat kita pahami bahwa, apabila si mayat
berwasiat kepada keluarganya agar menangisi dan meratapi dirinya setelah
kematiannya, maka mayat tersebut disiksa. Namun, apabila si mayat tidak
berwasiat dan keluarganya menangisi serta
meratapinya, maka si mayat tidak disiksa. Insya Allah. Wallahu a’lam.[5]
Kesimpulan
Mengenai hukum
menangisi mayat, tidak ada ikhitilaf diantara imam madzhabil al arba’ah, mereka
berpendapat bahwa bolehnya menangisi mayat. Asalkan tidak berlebihan dan tidak
sampai meratapi bahkan berteriak-teriak sambil menyobek pakaian, menampar wajah
dan berkata yang menunjukkan tidak ketidakterimanya dengan keadaan yang
dialaminya.
Ulama menghukumi
haram bagi orang yang meratapi mayat. Akan tetapi madzhab Hanafiyah berbeda
pendapat terhadap hukum meratapi mayat, tidak mengapa meratapi mayat dengan
syair atau yang lainnya. Akan tetapi, hukumnya makruh apabila berlebihan dalam
memujinya, apalagi berada di samping mayat.
Daftar Pusaka
Husaini, -al, Imam Taqiyuddin Abubakar bin
Muhammad, “Kifayatul Akhyar”, pent.Al Qowam
Mundziri, -al, Al Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzhim bin Abdul Qawi, Ringkasan
Shahih Muslim. “Kitab Jenazah”, no.hadist 462, (Surakarta: Insan Kamil,
2012)
Muqori,-al,
Syaikh Imam al ‘Alamah Abu al Abas Ahmad bin Muhammad bin Ali al Fiyimiyu, “
Al Mishbah al Munir fii Ghoribi as Syarh al Kabir”
Zuhaili, -az, Wahbah , “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, pent. Darul Fikr, jilid.2
[1] Syaikh Imam Al ‘Alamah Abu Al Abas Ahmad bin
Muhammad bin Ali Al Fiyimiyu Al Muqori, “Al Mishbah al Munir fii Ghoribi as
Syarh al Kabir”, hlm. 36.
[2] Al Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzhim bin Abdul
Qawi Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim. “Kitab Jenazah”, no.hadist
462, (Surakarta: Insan Kamil, 2012), hlm. 236
[3] Wahbah AzZuhaili , “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, pent. Darul Fikr, jilid.2,
hlm, 604-606
[4] Ibid, hlm, 605
[5] Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Al
Husaini, “Kifayatul Akhyar”, pent.Al Qowam, hlm 429-432