Pendapat ulama berbeda mengenai iddah
bagi perempuan yang mengajukan khulu’, diantaranya:
1.
Iddahnya sama
seperti iddah perempuan yang tertalak (tiga quru’)
Pendapat ini menurut jumhur, kalangan madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Dalil yang mereka gunakan adalah:
a.
Khulu’ adalah talak, maka wanita
yang mengajukan khulu’ masuk dalam cangkupan keumuman firman Allah,
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Q.S. Al Baqarah: 228)
b.
Khulu’ adalah penceraian setelah
persenggamaan, sehingga iddahnya sama seperti perceraian lainnya (tiga quru’).
c.
Hadist yang diriwayatkan dari Nafi’
dari Ibnu Umar, ia berkata, “Iddahnya (wanita yang mengajukan cerai) sama
dengan iddah wanita tertalak.”
2.
Iddahnya satu
kali haid
Ini adalah pendapat Utsman bin Affan, Ibnu
Umar, Ibnu Abbas, Ahmad dalam satu riwayat, Ishaq, Mudzir serta pendapat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dalil yang mereka gunakan adalah:
a.
Hadist Ar Rubayyi binti Mu’awwidz,
tuturnya: “Aku menggugat cerai suamiku, kemudian aku datang menghadap Utsman
dan bertanya kepadanya, “Apakah saya harus menjalani iddah?” Ia menjawab, “Tidak
ada keawjiban iddah atas kamu kecuali kamu baru menikah (melakukan hubungan
intim dengannya). Tinggallah sementara waktu (bersamanya) sampai kamu menjalani
haid satu kali.” Utsman menambahkan, “Dalam hal ini aku mengikuti keputusan
Rasulullah terhadap Maryam Al Mughaliyah yang menjadi istri Tsabit bin Qais bin
Syammas, lalu ia menggungatnya cerai.”
b.
Ia diperkuatkan dengan hadist Ibnu
Abbas, bahwa istri Tsabit bin Qais menggungat cerai, lalu Nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi
Wa Salam menetapkan iddahnya selama satu kali haid.
c.
Diriwatkan dari Ar Rubayyi’ binti
Mu’awwidz bahwa Tsabit bin Qais bin Syammas memukuli istrinya hingga melukai
tangannya. Ia bernama Jamilah binti Abdulloh bin Ubay. Saudara laki-laki
Jamilah pun datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu’Alaihi Wa Salam (mendapat
laporan tersebut), Rasulullah Shallallahu’Alaihi Wa Salam segera
mengutus orang untuk memanggil Tsabit (agar menghadap) dan bersabda kepadanya,
“Ambillah apa yang dia berikan kepadamu dan
menyingkirlah dari jalannya.”
Ia menjawab, “Baik.” Rasulullah Shallallahu’Alaihi
Wa Salam pun memerintahkannya untuk menunggu satu kali haid, lalu kembali
kepada keluarga (orang tua).”
d.
Disebutkan pula dalam kisah Ar
Rubayyi’ binti Mu’awwidz diatas, bahwa Utsman menfatwakan kepadanya untuk
menjalani masa iddah sekali haid dan fatwa ini diamini oleh Ibnu Umar.
e.
Pendapat yang menyatakan bahwa
iddah satu kali haid bagi perempuan yang mengajukan khulu’ merupakan tuntutan
kaidah-kaidah syari’at, sebab iddah tiga qiru’ bagi perempuan yang tertalak
digariskan agar masa rujuk berlangsung lama, sehingga suami bisa pikir-pikir
dan bisa merujuknya kembali dalam masa iddah. Adapun jika sudah tidak ada lagi
kesempatan rujuk kepadanya, maka tujuan dari diberlakukannya iddah adalah
sekedar membuktikan kesucian rahimnya dari kehamilan. Dan hal ini cukup
dibuktikan dengan satu kali haid sebagai bentuk istibra’. Mereka
mengatakan, hal ini menurut kami tidak batal dengan tertalak tiga, sebab pintu
talak menjadikan hukum iddah di dalamnya sama saja, baik ba’in maupun roj’i.
Pendapat Yang Rojih:
Pendapat yang rojih adalah pendapat
yang kedua, yang menyatakan bahwa iddah bagi perempuan yang mengajukan khulu’
adalah satu kali haid. Karena banyaknya dalil yang mendukung pendapat mereka,
dari hadist-hadist marfu’ hingga perkataan dan atsar sahabat. Wallahu a’lam.[1]
[1]
Abu Malik Kamal
bin As Sayyid Salim, “Shahih Fiqih Sunnah”, pent. Pustaka Azzam (Anggota
IKAPI DKI Jakarta), jilid 03.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar