Kamis, 21 Februari 2019

Hukum Menangisi Mayat



Segala puja dan syukur hanya milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Robb semesta alam yang telah memberikan banyak nikmat kepada hamba-Nya, diantaranya nikmat akal sehat, nikmat kesehatan dan berbagai kenikmatan lain yang tidak terhitung lagi jumlahnya.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada tauladan kita Nabi Muhammad Shalallahu’Alaihi wa Salam yang telah menuntun dan mengajarkan kepada umatnya suatu risalah yang suci.
Mengingat bahwa kematian dapat menimpa manusia, kapan pun dan dimana pun. Tidak ada manusia yang mengetahui kapan dia meninggal. Ini semua adalah kehendak Allah dan Allah Yang Maha Mengetahui perkara yang ghaib.
Ditinggal meninggal kerabat terdekat kita, terkang membuat kita sedih, menangis, merasa kehilangan dan sejenisnya. Berbagi hal terkadang kita lakukan dan ucapkan, baik dengan kesadaran diri sendiri ataupun tanpa sadar.
Melihat kejadian ini yang terkadang sebagian orang melakukannya secara berlebihan hingga menangis dan meratapi mayat, menampar pipi, menyobek pakaian, berteriak-teriak, berkata-kata dengan maksud tidak menerima kejadian yang dialaminya dan lain sebagainya. Penulis tertarik dengan bagaimanakah hukum menagisi mayat.

A.    Pengertian

Menangis dalam bahasa arab adalah بَكَى- يَبْكِى- بُكَى- بُكَاءً adalah keinginan mengeluarkan air mata yang diiringi keluarnya suara.[1]
Sedangkan pengertian menangis dalam KBBI adalah melahirkan perasaan sedih (kecewa, menyesal dan sebaginya) dengan mencucurkan air mata serta mengeluarkan suara (tersedu-sedu, menjerit-jerit).
Dalam KBBI mayat berarti badan atau tubuh yang sudah mati.

B.     Hukum Menangisi Mayat Menurut 4 Madzhab
Ulama sepakat bolehnya menangisi mayat sebelum dan sesudah pemakaman, asalkan tanpa berteriak-terik, menyobek baju, meratap dan menampar pipi.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Rasululah bersabda:
يَا إِبْرَاهِيْمُ, إِنَّا لاَ نُغْنِى مِنَ اللهِ شَيْئًا
“Ibrahim...! Terasa cepat Allah mengambilmu,” lalu air mata beliau mengalir. Lantas Abdullah bin ‘Auf bertanya, “Rasulullah, apakah Anda menangis? bukankah Anda telah melarang untuk menangis?”
Rasulullah menjawab,
لاَ, وَلَكِنْ نَهَيْتُ عَنِ النُّوْحِ
“Tidak, yang aku larang itu adalah ratapan yang berlebihan.”
Terdapat pula hadist yang diriwayatkan oleh Abdulloh bin Umar, yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بن عُمَرَ رضي الله عنهما قال: اشْتَكَى سَعْدُ بن عُبَادَةَ شَكْوَى لَهُ فَأَتَى رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه وسلم يَعُودُهُ مَعَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بن عَوْفٍ وَسَعْدِ بن أَبِى وَقَّاصٍ وَعَبْدِ الله بن مَسْعُوْدٍ, فَلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهِ وَجَدَهُ فِى غَشِيَّةٍ فَقَالَ: أَقَدْ قَضَى؟, قَلُوا: لاَ, يَا رَسُوْلَ اللهِ, فَبَكَى رَسُوءلُ اللهِ صلّى الله عليه وسلم, فَلَّمَا رَأَى القَوْمُ بُكَاءَ رَسُوْلِ اللهِ اللهِ صلّى الله عليه وسلم, بَكُوا, فَقَالَ: أَلاَ تَسْمَعُوْنَ؟ إِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ العَيْنِ, وَلاَ بِحُزْنِ القَلْبِ, وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا- وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ – أَوْ يَرْحَمُ. (أَخْرَجَهُ البُخِارِى, وَمُسْلِمٌ, وَالنَّوَوِي)
Diriwatkan dari Abdullah bin Umar Radhillahu’Anhuma, dia berkata, “Sa’ad bin Ubadah pernah menderita suatu penyakit. Nabi Shalallahu’Alaihi wa Salam datang menjenguknya bersama Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waaqqash serta Abdullah bin Mas’ud Radhillahu’Anhum. Ketika beliau masuk Sa’ad sudah dikerumuni keluarganya, beliau lalu bertanya, “Apakah ia sudah tiada?” Mereka menjawab, “Belum, wahai Rasulullah.” Maka beliau menangis dan ketika orang-orang melihat Nabi menangis, mereka pun menangis. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyiksa karena kesedihan hati, tetapi Allah hanya akan menyiksa karena ini, (beliau menunjuk ke arah lidahnya) atau Allah akan mengampuninya.” (Bukhori 1304, Muslim 924, An Nawawi 6/523-524)[2]

Diharamkan menyebut kebaikan-kebaikan mayat secara berlebih-lebihan, meratap, meronta dengan memukul dada atau kepala, merobek pakaian dan semisalnya.[3]
Akan tetapi madzhab Hanafiyah berbeda pendapat terhadap hukum meratapi mayat, tidak mengapa meratapi mayat dengan syair atau yang lainnya. Akan tetapi, hukumnya makruh apabila berlebihan dalam memujinya, apalagi berada di samping mayat.[4]
Akan penulis paparkan pendapat madzhab Syafi’iyah mengenai hukum menangisi mayat.
Dalam Madzhab Syafi’iyah, membolehkan bagi seseorang yang ditinggal mati mayit untuk menangisi mayat.
Berkaitan tentang menangisi sebelum kematiannya, Anas Radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa, “Kami menemui Rasulullah dan Ibrahim anak laki-laki Rasulullah dalam keadaan sekarat maka kedua mata Rasulullah meneteskan air mata, yaitu mengalir air matanya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Adapun menangisi setelah kematiannya, Anas Radhiyallahu’anhu meriwayatkan, “Kami menyaksikan penguburan anak perempuan Rasulullah. Kami melihat kedua mata beliau mengalirkan air mata dan beliau duduk di atas kuburan.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi mengunjungi kuburan ibu beliau, lalu beliau menangis dan membuat orang-orang beliau ikut menangis.(HR. Abu Daud, Nasa’i, Ahmad dan Malik)
Perbuatan yang lebih utama dalam hal ini adalah tidak menangisi setelah kepergian mayit. Bahkan sebagian ulama berpendapat makruh, sebab Nabi bersabda:

إِذَا وَجَبَتْ فَلاَ تَبْكِيَنَّ بَاكِيَةً
“Apabila kematiannya telah terjadi, janganlah ada wanita yang menangis.”
Dalam madzhab Syafi’iyah, mengharamkan bagi seseorang untuk meratapi jenazah dan ada hukuman bagi orang yang meratapi mayat. Maksudnya meratapi adalah  mengeraskan ratapan suaranya, merobek saku atau pakaiannya, memukul dada atau pipi, mengacak- ngacak rambut, berdo’a dengan kecelakaan dan semisalnya.
Rasulullah bersabda:
“Seseorang yang meratapi jenazah apabila tidak bertaubat sebelum kematiannya, maka ia dibangkitkan pada Hari Kiamat dengan baju dari ter dan gamis dari kudis.” (HR. Muslim).
Disebutkan dalam hadist shahih, “Sunggguh jenazah akan disiksa dengan tangisan keluarga atas kematinnya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam hadist ini dapat kita pahami bahwa, apabila si mayat berwasiat kepada keluarganya agar menangisi dan meratapi dirinya setelah kematiannya, maka mayat tersebut disiksa. Namun, apabila si mayat tidak berwasiat dan keluarganya menangisi serta  meratapinya, maka si mayat tidak disiksa. Insya Allah. Wallahu a’lam.[5]


Kesimpulan

Mengenai hukum menangisi mayat, tidak ada ikhitilaf diantara imam madzhabil al arba’ah, mereka berpendapat bahwa bolehnya menangisi mayat. Asalkan tidak berlebihan dan tidak sampai meratapi bahkan berteriak-teriak sambil menyobek pakaian, menampar wajah dan berkata yang menunjukkan tidak ketidakterimanya dengan keadaan yang dialaminya.
Ulama menghukumi haram bagi orang yang meratapi mayat. Akan tetapi madzhab Hanafiyah berbeda pendapat terhadap hukum meratapi mayat, tidak mengapa meratapi mayat dengan syair atau yang lainnya. Akan tetapi, hukumnya makruh apabila berlebihan dalam memujinya, apalagi berada di samping mayat.


Daftar Pusaka

Husaini, -al, Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad, “Kifayatul Akhyar”, pent.Al Qowam
Mundziri, -al, Al Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzhim bin Abdul Qawi, Ringkasan Shahih Muslim. “Kitab Jenazah”, no.hadist 462, (Surakarta: Insan Kamil, 2012)
Muqori,-al, Syaikh Imam al ‘Alamah Abu al Abas Ahmad bin Muhammad bin Ali al Fiyimiyu, “ Al Mishbah al Munir fii Ghoribi as Syarh al Kabir”
Zuhaili, -az, Wahbah , “Fiqih Islam Wa  Adillatuhu”, pent. Darul Fikr, jilid.2



[1] Syaikh Imam Al ‘Alamah Abu Al Abas Ahmad bin Muhammad bin Ali Al Fiyimiyu Al Muqori, “Al Mishbah al Munir fii Ghoribi as Syarh al Kabir”, hlm. 36.
[2] Al Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzhim bin Abdul Qawi Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim. “Kitab Jenazah”, no.hadist 462, (Surakarta: Insan Kamil, 2012), hlm. 236
[3] Wahbah AzZuhaili , “Fiqih Islam Wa  Adillatuhu”, pent. Darul Fikr, jilid.2, hlm, 604-606
[4] Ibid, hlm, 605
[5] Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Al Husaini, “Kifayatul Akhyar”, pent.Al Qowam, hlm 429-432

Tidak ada komentar:

Kawan..., silahkan tinggalkan pesan...

Nama

Email *

Pesan *